![]() |
Pangkep,– Kasus dugaan korupsi dana hibah Pilkada 2024 yang menjerat Ketua (I), Sekretaris (AS), dan Komisioner (M) Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, terus bergulir.
Kerugian negara yang ditaksir mencapai Rp 554 Juta ini bukan sekadar masalah pidana biasa, melainkan cerminan dari tantangan struktural dalam sistem birokrasi Indonesia.
Analisis Hukum: Menyoroti Mentalitas Buruk dalam Birokrasi
Untuk mendalami akar permasalahan ini, Jurnalis JelajahIndonesia.id Kamaruddin, menemui Mappasessu, S.H., M.H., seorang Ahli Hukum di bidang Kajian Korupsi dan pengembang Sudut Pandang Hukum Post kolonial Indonesia.
Menurut Mappasessu, kasus di KPU Pangkep ini menunjukkan adanya penyimpangan yang terstruktur, di mana individu yang tidak berwenang (Ketua I dan Komisioner M) justru mengambil peran penentu dalam proses pengadaan.
"Ini adalah kasus yang menarik ditinjau dari kacamata post kolonial. Hukum kita secara tekstual sudah modern dan tegas, yaitu melalui UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2021 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," ujar Mappasessu.
"Namun, secara kontekstual, kasus ini mengungkap adanya mentalitas kekuasaan lama atau mentalitas kolonial yang masih bercokol di birokrasi."
Mentalitas ini, jelas Mappasessu, diwujudkan melalui dua hal utama:
Instrumentasi Wewenang: Para tersangka diduga melakukan persekongkolan dengan mengabaikan prosedur baku
Ketua dan Komisioner memilih penyedia, yang seharusnya menjadi tugas Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) atau Sekretariat. Sekretaris (AS) kemudian menindaklanjuti dengan

0 Komentar